Rabu, 03 November 2010

"Think" Like God

Tuhan itu adil. Sangat-sangat adil. Sebelum -menvonis- manusia berada pada sistem hidup dan berkehidupan yang benar atau salah. Ia menunjukkan terlebih dahulu ada di posisi sistem yang mana manusia tersebut berada. Jika kehidupan manusia sedunia sudah dalam kondisi Damai dan Sejahtera maka bisa dipastikan manusia sudah berada pada sistem hidup dan berkehidupan yang -benar- yang berdasarkan pada ‘maunya Tuhan’. Tetapi sebaliknya, Jika kondisi kedamaian hampir tidak ada di bagian belahan bumi manapun, baik di negara-negara maju, negera-negara berkembangan, apalagi di negera-negara yang dikategorikan ‘miskin’, tentu saja kata ‘damai’ adalah suatu hal yang sangat sulit diwujudkan. Lebih dari puluhan juta manusia yang hidup dihantui rasa takut, keresahan, ketidaknyaman, kekurangan, keterpurukan, dan keputusasaan dalam menghadapi hari esok, oleh karena terbelenggu sistem yang tidak membawa kedamaian. Yaitu sebuah sistem yang dibuat oleh sekelompok manusia, untuk mengatur jutaan manusia lainnya, bahkan hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di dalam bumi Tuhan. Dan ironisnya sistem tersebut dijadikan ‘alat’ untuk memenuhi keinginan dan kepentingan pribadi atau sekelompok manusia tertentu, bukan untuk mewujudkan ‘keinginan dan kepentingan’ Tuhan.

Dalam hal ini ‘keinginan dan kepentingan’ Tuhan saya kemas dalam bahasa yang lebih ringan dan sederhana yaitu ‘Mau-Nya Tuan’. Sementara kata -Tuan- saya gunakan agar kita tidak terperangkap dengan dogma apapun, kita bisa lepas dari dogma apapun, dogma yang membuat Tuhan menjadi terpisah-pisah, dogma yang mebuat Tuhan yang tadinya satu menjadi banyak, dogma yang mempatenkan dan mengkotak-kotakan nama Tuhan. Dogma yang menjadikan nama Tuhan hanya menjadi sebagai sebuah symbol keagamaan, bukan esensi dari yang sebenarnya. Terlebih lagi kata –tuan- saya kutip agar kita bisa lebih akrab dengan esensi pengabdian. Karena esensi hidup adalah untuk mengabdi. Jika Tuhan adalah tuan, maka manusia adalah budak. Seorang budak harus mengikuti kemauan tuannya. Karena sesuatu yang mustahil seorang tuan mengikuti kemauan budak. Jika ada tuan yang mengikuti kemauan budaknya berarti tuan itu adalah tuan yang bodoh. Bodoh karena mau diperbudak oleh budaknya sendiri. Berapa banyak tuan yang bodoh saat ini? anda bisa menghitungnya sendiri.

Tuhan dalam bahasa Ibrani disebut “YHVH” (dibaca : Yahweh), dalam bahasa arab disebut “ 4JJ I“ (dibaca : Auwloh), dalam bahasa inggris God, atau Lord, dan dalam bahasa Indonesia disebut “Allah”. Kita jangan terjebak dengan istilah-istilah tersebut yang nantinya akan menjadikan dinding pengahalang bagi kita mengenal lebih dekat dengan Tuhan.

Jika ingin disebut sebagai manusia, mahluk yang paling sempurna bentuk fisik dan ruhnya dari mahluk lain. Tentunya kita harus berpikir, berpikir dalam arti ‘melihat, membaca dan mencerna’ kondisi kehidupan saat ini, apakah kondisi hidup dan berkehidupan manusia saat ini sudah berdasar pada ‘maunya Tuan’?

Sekali berkedip saja, otak kita sudah berteriak dan menjawab “belum”. Belum karena kita masih sering melihat perang. Kita masih melihat kerusuhan, chaos, kekerasan, keserakahan, perampasan hak, kesewenang-wenangan, kengerian, kejahatan, kehidupan saling makan-memakan, kehidupan yang antagonistis dari kehiduan yang berdasarkan ‘mauNya Tuan’.

Tuan berhak geram, marah, murka, dan sombong kepada manusia karena -tingkah laku- manusia. Tuan berhak geram; berkali-kali Ia tegur, berkali-kali manusia lupa, ingat sesaat, lupa bertahun-tahun. Tuan berhak marah; ketika diturunkan bencana melalui bencana alam dan bencana kemanusiaan kepada manusia karena perbuatan fasik dan tamak manusia itu sendiri, ada beberapa manusia memaki, mendengki bahkan menghujat Nya. Tuan berhak murka ketika diturunkan berkali-kali bencana-bencana yang lebih besar lagi, tetapi sedikit sekali manusia yang mengambilnya sebagai pelajaran. Akhirnya Tuan berhak sombong kemudian berpaling dari manusia, tidak memberikan pencerahan lagi kepada manusia, ‘ilmu Allah’ sesuatu yang ‘menghidupi’ manusia dicabutnya, sehingga manusia hidup dalam keadaan ‘gelap’ seperti didalam kubur, dan manusia hidup seperti ‘orang mati’.

Kata gelap tersebut rasanya sudah bisa mewakili semuanya. Gelap berarti tanpa cahaya, tanpa penerangan, dan tidak dapat petunjuk dari sang pemberi petunjuk. Gelap berarti hidup dalam lingkaran sistem yang bobrok, lingkaran setan, lingkaran kesesatan, lingkaran sistem yang membelenggu pola pikir dan fitrah manusia, sistem yang memperbudak dan men-Tuhankan keinginan pribadi dan golongan tertentu. Gelap berarti manusia terpuruk oleh kebodohannya sendiri, keangkuhannya, keegoisentrisannya, sehingga bisa saja disebut manusia kembali pada masa Jahiliyah, zaman kebodohan. Pintar dalam merancang sebuah sistem, bodoh dalam menerapkan sistem tersebut. Itulah yang lebih tepat. Dan dapat dipastikan saat ini manusia berada pada posisi sistem yang salah dari sistem yang benar yang berdasar pada ‘mauNya Tuan’.

Ya. Semua itu terjadi karena manusia belum mengenal Tuhan sebagai ‘Tuan’. Tuan yang konsisten dengan hukumnya. Tuan yang punya tradisi dan tidak pernah berubah, Tuan yang menciptakan kesempurnaan dengan tahapan-tahapan proses penciptaan, Tuan yang tegas, Tuan yang pengampun, Tuan yang sensitif dan pencemburu, Tuan selalu menempati janji, Tuan yang Agung, Tuan yang satu, Tuan yang dikenal oleh Adam, Nuh (Noah), Ibrahim (Abraham), Musa (Moses), Daud (King David), Sulaiman (Salomon), Isa (Yesus) dan Muhammad SAW. Mereka adalah orang-orang yang mengenal Tuhan seperti mereka mengenal ‘Tuannya’-, ‘kemaun Tuan’ adalah pekerjaan mereka, dan pekerjaan mereka adalah mewujudkan ‘kemauan Tuan’. Maka mereka disebut dengan anak-anak Tuhan jika Tuhan adalah Bapaknya. Mereka disebut ‘budak-budak’ jika Tuhan adalah ‘Tuannya’. Mereka disebut ‘Istri-istri yang setia’ jika Tuhan adalah ‘suaminya’. Mereka disebut ‘kekasih’ jika Tuhan adalah ‘cinta sejatinya’. Mereka disebut ‘tanaman-tanaman Tuhan’ jika Tuhan adalah Petaninya. Dan mereka disebut ‘Kebun, ladang, jannah’ jika Tuan adalah ‘Penggarapnya’.

Maka muncullah pertanyaan penting didalam otak kita yang didalamnya terdapat akal, yaitu; ‘Apakah kita sudah mengenal Tuhan seperti mereka mengenal Tuannya?’

Sekali lagi, belum sempat mata kita berkedip, akal kita sudah berteriak ”belum”

Lalu bagaimana cara kita mengenal Tuhan seperti mereka mengenal Tuannya?, satu-satunya cara kita mengenal Tuhan adalah melalui sejarah. Mengenal Tuhan harus melalui sejarah, bukan melalui agama dan Dogma. Tuhan terlalu besar, dan agama terlalu sempit, Tuhan terlalu besar untuk dimasukkan kedalam salah satu dari tujuh agama atau kepercayaan besar didunia. Tuhan tidak pilih kasih, Dia tidak pernah memberi hak veto kepada salah satu agama besar tersebut sebagai agama yang paling benar. Agama-agama lahir dari penyelewengan peradaban Tuhan, yang juga memang telah rancang oleh Tuhan sendiri akibat manusia sudah meninggalkan Tuhan, tetapi peradaban Tuhan tidak pernah lahir dari sebuah agama, peradaban Tuhan ada karena Tuhan ada. Tuhan yang merancang peradaban, dan Tuhan juga yang menghancurkan peradaban, dikarenakan manusia lupa pada perjanjian dengan-Nya. Sekali lagi manusia meninggalkan Tuhan. Ada peradaban berarti ada sejarah. Maka dari sejarah-lah kita bisa mengenal Tuhan. Dan sejarah yang -paling murni- adalah sejarah yang terdapat pada kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan.

Tapi sayang seribu sekali sayang kitab-kitab suci Tuhan pada kenyataan kebanyakan manusia saat ini adalah –pajangan dan aksesoris-, bentuk fisiknya lebih dianggap sakral dari pada isi kandungan (ruh) didalamnya, cara membaca lebih dianggap bermanfat daripada memahami esensi (nilai) yang dibacanya, dengan lantunan yang dianggap indah oleh kebanyakan manusia, bahkan diperlombakan ditingkat nasional atau bahkan internasional, ritualitas menghafalnya dijadikan senjata untuk memenuhi kepentingan pribadinya, kebutuhan perut, atas perut dan bawah perutnya. Sudah menjadi rahasia umum, dan mungkin bisa saya katakan sebagai fakta umum bahwa kitab-kitab suci pada saat ini hanya menjadi simbol agama, aksesoris dalam upacara keagaman, pelengkapan ritualitas, alat perjanjian palsu, jimat, dan jampe-jampe manusia pintar tetapi bodoh. Pintar karena memiliki akal, bodoh karena akalnya tidak dapat menjangkau dan menangkap frekuensi ilmu Tuhannya melalui sejarah yang diceritakan di dalam kitab-kitab suci.

Harusnya dari sejarahlah kita bisa mengenal ‘sifat dan karakter Tuhan’, dari sejarahlah kita bisa mengenal ‘kebiasan Tuhan’, dari sejarahlah akhirnya kita bisa mengenal ‘Tradisi Tuhan’. Ini adalah esensi yang ‘mahal’ jika kita bisa mengenal ‘Maunya Tuan’ dari pada kitab-kitab suci yang diturunkanNya.

Berbicara kitab-kitab suci tentu banyak sekali, tetapi sudah terangkum pada 3 kitab besar, yaitu Taurat , Injil dan Al-quran, disini saya lebih suka menyebutnya sebagai -Kitab-kitab suci-. Hal tersebut dikarenan untuk mempelajarinya kita harus suci dan murni. Suci karena harus melepas doktrin agama apapun, murni karena membawa nilai-nilai kehidupan yang ‘mengatasnamakan Tuhan’. Serta bisa dipastikan di dalam kitab-kitab suci tersebut menggambarkan karakter, kebiasaan dan Tradisi Tuhan.

Tuhan punya tradisi, yang namanya tradisi selalu berulang, akan tetapi tradisi Tuhan tidak berulang setiap tahun seperti tradisi manusia, Tradisi tuhan berulang setiap 7 abad sekali. Dimana terjadi perrgantian antara sistem yang benar (Sistem Rancangan Tuhan) dan sistem yang salah (Sistem Tandingan Tuhan). Tradisi Tuhan sudah berjalan dari mulai zaman Adam, Nuh (Noah), Ibrahim (Abraham), Musa (Moses), Daud (King David), Sulaiman (Salomon), Isa (Yesus), Muhammad SAW dan masih berjalan sampai sekarang. Tuhan menganalogi tradisi selalu berulang dalam kitab suci seperti ‘siang dan malam’.

Sekrang pertanyaannya adalah, ada diposisi yang mana kehidupan kita pada saat ini, Siang atau Malam? silahkan anda menyimpulkan sendiri.

Segala Puji Bagi Allah - Tuhan Semesta Alam

Puji Allah
Akhir Nya Saya Mendapat Kan Sebuah Gambar Dari Penjelasan Saya Yang Tadi. Ini Secara Analogis Nya.
Damai Sejahtera
Puji Allah <Tuan Semesta Alam>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar